AKU tak suka hujan.
Bagiku tiap rintiknya
adalah bencana. Awan hitam yang menggulung sebelum kehadirannya tampak
seperti asap para penyihir yang siap disemburkan untuk meneluh tiap
korbannya. Apalagi ketika gelegar petir menyertainya, bagiku mendadak
dunia seperti neraka, sungguh menakutkan.
Aku tak suka hujan.
Entah mengapa, semua cerita sedihku selalu diiringi olehnya. Ibuku
meninggal ketika hujan. Ayahku pergi dari rumah ketika hujan. Aku diusir
dari kontrakan ketika hujan. Hari pertama aku putus sekolah ketika
hujan. Dan pertama kali aku menjadi pengamen jalanan pun ketika hujan.
Aku tak suka hujan.
Ketika hujan, aku memilih untuk bersembunyi di dalam gudang tua tak
terpakai, pusat-pusat perbelanjaan, pasar-pasar tradisional, ataupun
musala terdekat yang aku lihat. Aku memilih untuk tak berkuyup-kuyup
menantang hujan seperti teman-teman jalananku. Aku memilih untuk
menghindari hujan walaupun berjam-jam lamanya aku mesti bersembunyi.
Walaupun banyak teman yang meledekku, aku tak peduli.
Karena sungguh aku tak suka hujan.
Lain halnya dengan Marni. Sahabat dekatku itu justru menyukai hujan.
Ia selalu tampak gembira ketika awan hitam mulai menutupi sinar
mentari. Ia akan menari-nari ketika rintik air telah membasahi bumi.
Padahal tak sedikit pengamen yang sering menggerutu ketika hujan datang
karena mereka mau tak mau mesti mencari uang dalam keadaan basah dan
dingin. Tapi anehnya performa jalanan Marni justru lebih memukau ketika
hujan. Begitu yang aku dengar dari teman-teman. Aku tak pernah
menyaksikan langsung bagaimana kebahagiaan dan penampilannya ketika
turun hujan karena pada saat itu aku pasti sedang bersembunyi
menghindari hujan.
Pernah suatu saat aku menanyakan perihal kesenangannya pada hujan.
"Hujan itu rahmat, Sus. Dalam tiap tetesnya ada kebaikan yang coba
Tuhan bagikan pada manusia. Begitu yang aku dengar dari ceramah di
masjid alun-alun," jawabnya dengan senyum tersungging.
Tetap saja aku tak suka hujan.
Apalagi minggu kemarin aku hampir diciduk polisi. Razia itu membuat
aku mesti berlari ke sana-kemari menghindari kejaran mereka, dan itu
terjadi ketika rintik gerimis mulai aku rasakan, padahal biasanya aku
selalu bergegas pergi sembunyi ketika melihat tanda-tanda akan turun
hujan. Ah, rasanya petaka selalu menghampiriku ketika hujan. Mungkin
Marni mengalami hal yang sebaliknya sehingga dia menyukai hujan, tapi
itu sama sekali tidak membuat persepsiku berubah tentang hujan.
**
AKU tak suka hujan.
Berkali-kali aku katakan itu pada Marni, tapi pagi itu dengan setengah
memaksa ia menarikku ke jalanan ketika hujan akan datang.
"Ayo, Sus, kamu harus merasakan langsung nikmatnya guyuran hujan, agar rasa takutmu padanya hilang!" serunya.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangannya yang kuat
memegangiku. Kakiku pun kupaksakan untuk tak beranjak dari gubuk kardus
tempatku tinggal. Menurutku perbuatan Marni sungguh konyol. Apa yang
membuat dia begitu menginginkan aku untuk menantang hujan? Tapi semua
usahaku itu sia-sia. Marni, yang memiliki tubuh yang lebih besar dariku,
berhasil menarikku hingga ke tepian jalan.
Rasa takut mulai menyelimutiku ketika tetesan hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuhku.
"Lihatlah, Sus! Hujan ini tidak akan membunuhmu. Ayo kita rayakan
kedatangan rahmat Tuhan ini!" teriak Susi dengan tubuh menari-nari tapi
satu tangannya masih erat memegangiku.
Aku pasrah. Rasa takut
membuat tubuhku mendadak lemas. Hanya sesekali aku menyeka tetesan
hujan di wajahku. Rasanya asin. Aku tak tahu apakah ini memang tetesan
hujan atau air mataku yang mengucur. Marni mungkin merasakan tanganku
yang mengendur sehingga ia pun akhirnya melepaskan pegangannya pada
tanganku.
Aku tak suka hujan.
Empat belas tahun aku
hidup, baru kali ini aku memasrahkan diriku diterkam basahnya hujan.
Tubuhku menggigil, tapi anehnya aku tidak beranjak untuk menghindari
hujan. Aku memilih untuk berjongkok di tepian jalan.
Aku
heran temanku Marni begitu antusias menyambut hujan. Ia melenggang ke
sana-kemari sambil mendendangkan macam-macam lagu. Ketika lampu merah,
ia langsung menghampiri angkutan umum yang berhenti dan dengan tubuh
yang basah ia menyanyikan lagu band kesukaannya, ST-12.
Kuperhatikan mimik wajah temanku yang sedang mengamen itu. Wajahnya
tampak cerah, jauh dari kesan mendung, rambut ikalnya basah. Tubuh yang
sedikit gemuk itu bergoyang dengan lincahnya. Walaupun ia mengamen
tanpa membawa alat musik apa pun, keceriaannya mampu menyihir para
penumpang angkutan umum untuk memberinya sekeping rupiah.
Padahal kisah hidup Marni tidak lebih baik dariku. Ia yang lebih muda
satu tahun dariku telah menjadi anak jalanan ketika usianya baru empat
tahun, lain denganku yang akhirnya terpaksa hidup di jalanan ketika aku
mesti putus sekolah menjelang ujian akhir sekolah dasar.
Kuperhatikan juga mimik wajahku sendiri di genangan air di depanku.
Wajah yang kusam. Jelas aku sudah tidak tahu bagaimana cara tersenyum
yang baik, kesan sinis selalu aku tampakkan. Rambut panjangku selalu aku
biarkan tergerai, menutupi sebagian wajahku, lebih tepatnya menutupi
rasa kerendahdirianku. Saat mengamen pun aku tidak pernah berani
bernyanyi. Aku biasanya memilih untuk mengiringi Marni atau teman
jalananku yang lain dengan gitar usang kepunyaanku.
Hampir
setengah jam aku jongkok di tepian jalan, menyaksikan penampilan Marni
dan teman-teman jalanan lainnya, menyaksikan hilir-mudik kendaraan,
para pedagang asongan, serta orang-orang yang lalu lalang menyeberangi
jalan. Dan tak dapat aku percaya, aku menyaksikan semua itu di tengah
guyuran hujan yang cukup deras.
Aku tidak tahu mengapa hal itu
bisa terjadi. Apa karena aku terlalu syok sehingga tidak bisa
menggerakkan kakiku untuk berlari menghindari hujan, atau karena rasa
kagumku menyaksikan sahabatku Marni? Benar kata teman-teman, penampilan
Marni tatkala hujan sungguh memukau. Suara gemericik hujan seperti
mengiringinya berdendang. Cahaya kendaraan yang terpantulkan dari
tetesan hujan menambah pesona Marni sebagai artis jalanan. Ia tampak
seperti malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk membasahi bumi dengan
hujan dan menebar kebahagiaan di tengah kekesalan para pengguna jalan
yang terjebak hujan.
Kulihat Marni mendekatiku. Ia pun jongkok di depanku dan berkata,
"Benar, kan, Sus, hujan itu rahmat, hujan itu kebahagiaan, hujan itu
kebaikan. Kau tidak boleh lagi mencela anugerah Tuhan ini, oke?"
Sepertinya Marni ingin mengubah semua persepsiku tentang hujan. Aku
tak menjawab apa-apa. Aku hanya menundukkan wajahku lebih dalam, tapi
tampaknya ia sudah bisa menebak isi kepalaku dengan hanya melihat diriku
yang pasrah diguyur hujan.
Marni pun mencubit lenganku, tidak sakit.
Aku diam tak merespons perbuatannya.
Ia pun mencubitku kembali. Agaknya ia memang menunggu respons dariku.
Aku pun membalas mencubit pinggangnya. Marni sedikit terkejut, lalu ia
terkekeh-kekeh. Deretan giginya yang tidak rapi membuatnya tampak
lucu. Dan tak dapat kututupi senyum yang kurasa kini tersungging di
bibirku.
Tanpa menungguku Marni kembali berlari ceria menuju
jalan raya. Namun mendadak senyumku surut, ketika sosok tubuh gempal
itu terlempar dari badan jalan.
Kudengar keriuhan di depanku, dan dapat kusaksikan genangan air hujan di sana telah berubah menjadi berwarna merah.
Tubuhku limbung.
Sungguh, Tuhan, aku tidak suka hujan!